[Review] Retni SB - Dimi is Married
Judul: Dimi is Married
Pengarang: Retni SB
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
Tebal buku: 384 hlm.
My rating: 3/5 stars
Sinopsis:
Walaupun belum lama mengenal Garda, Dimi yakin perkawinannya dengan lelaki itu akan berjalan baik. Dan Garda memang tampil layaknya suami idaman. Baik hati, penuh perhatian, keren, romantis, dan selalu memenuhi segala kebutuhannya, lahir-batin. Padahal mereka berdua menikah karena perjodohan cara kilat. Dimi merasa beruntung menjadi Cinderella abad ini.
Tapi kemunculan Donna yang tiba-tiba sungguh telah menjungkir-balikkan harapan dan mimpi-mimpi Dimi. Ternyata model jelita itu pacar Garda.
Dimi baru sadar, Garda tak pernah memperkenalkan dirinya ke lingkungan lelaki itu. Garda juga tak pernah menuntut macam-macam dari dirinya sebagai istri. Bahkan Garda tak pernah melarang aktivitas apa pun yang dilakukan Dimi. Dimi jadi berpikir: cintakah lelaki itu kepadanya?
Kalau Garda tak pernah bisa mencintai dirinya, lalu untuk apa cowok itu menerima perjodohan yang ditawarkan orangtua masing-masing? Toh dia tampan, kaya, sukses... sehingga dengan mudah mendapatkan perempuan mana pun yang diinginkannya...
Rencana apa yang sebetulnya sedang dilakukan Garda?
Review:
Buku Dimi is Married ini buku kedua Retni SB yang saya baca. Pertama kali baca akhir tahun kemarin, yang judulnya My Partner. Hal pertama yang saya rasakan dari buku itu adalah gaya penulisannya yang tidak saya sukai. Penulis menggunakan POV orang pertama, yang sebetulnya tidak masalah bagi saya. Namun ia juga menuliskan seluruh perasaan tokoh dalam ceritanya, dengan detail. Hal yang sama juga berlaku pada buku Dimi is Married ini.
Tanpa sadar aku menarik napas panjang dan membuangnya dalam desahan berat. Hal itu membuat Rio jadi memandangku tajam. Menyelidik. Menduga-duga. (hlm. 141)
Oh. Sepertinya Papa tidak menganggapku sangat hebat. Reaksinya standar, sama seperti yang diberikannya kepada orang-orang lain di ruangan ini. Dan hal itu membuatku agak down. Tapi tentu saja harus kututupi. Aku tak boleh memperlihatkan emosiku di sini. (hlm. 189)
Salah satu hal paling menyenangkan dari membaca buku adalah saat saya bisa ikut merasakan perasaan tokoh dalam buku. Dan dengan gaya penulisan Retni SB ini, saya merasa 'diberitahu' bahwa si tokoh A sedang merasa kesal, instead of feeling it myself. Jadi poin fun saat membaca buku ini kurang bisa saya dapatkan.
Lalu poin yang saya kurang suka berikutnya adalah ending dalam cerita. Bukan ending yang menggantung, tapi seperti belum selesai saja. Ada beberapa side story yang menurut saya masih bisa dikupas lagi namun dibiarkan begitu saja. Dan akhirnya saya mengakhiri buku ini dengan perasaan belum puas.
Tapi tentunya saya memberi 3 bintang bukan karena nggak tega atau kasihan. Ada 2 poin utama yang membuat saya cukup menyukai buku ini. Yang pertama adalah isu pembalakan hutan secara liar yang diangkat dalam buku. Perasaan saya terasa diaduk-aduk karena marah terhadap perusahaan kertas yang menggunakan hutan dengan semena-mena, tapi juga merasa tersindir karena saya lumayan suka mengoleksi buku cetak. I guess going paperless will be my resolution this year. Step-by-step tentunya.
Poin kedua yang saya sukai dalam buku ini adalah tokoh Ayah dan Bunda. They remind me of my own parents, terutama bentuk perhatian mereka ke Dimi. Setiap sesi yang ada mereka pasti saya suka, karena heartwarming untuk saya.
"Terserah kamu, Dim. Kalau kamu suka, boleh ambil. Kalau nggak sreg, taro lagi di kotaknya. Bunda sih simpel aja."
"Ya ampuun, Bun, memangnya Garda sepatu? Kok pakai taro lagi di kotaknya?"
Bunda tertawa dan mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya yang tak bisa hilang sejak aku balita. (hlm. 35)
Ada satu kutipan dalam buku ini yang sangat relevan buat saya, karena pengalaman pribadi, hehe.
Oom Hary dan Tante Rima menyambut kedatangan kami dengan hangat. Memang sudah lama juga tak bertemu. Karena kesibukan masing-masing. Apalagi keluarga Oom Harry tinggal di Bekasi, sebuah kota yang kesemrawutan dan kemacetannya bisa membuat seorang ibu melahirkan bayi dalam perjalanan dari tempat tinggalnya ke rumah sakit bersalin. (hlm. 14)
Honestly saya nggak tau itu kejadian beneran atau nggak. Tapi sebagai seseorang yang lahir dan besar di Bekasi dan sering commute antara Bekasi dan Jakarta, memang bener sih kalo Bekasi semrawut. Bedanya sama Jakarta cuma kondisi jalan. Jakarta jalannya bagus, Bekasi banyak yang rusak.
Comments
Post a Comment